Page 91 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 91
Paino masih mampu bersabar. Namun tak mungkin untuk
terus-terusan. Sementara ia merasa tak punya simpanan
apapun sedangkan kebutuhan perut tak mungkin ditunda.
“Gimana, Mas. Hasil jualannya?” Tanya Sri, istrinya.
Paino hanya menggeleng saja.
“Pak Soleh tadi kesini. Minta kita segera melunasi biaya
kontrakan yang sudah nunggak ini, Mas. Jika tidak dilunasi,
bulan depan kita disuruh pindah saja.” Keluh istrinya.
“Iya Sri, sabar ya. Semoga kita bisa segera melunasinya.
Kondisi pandemi membuat Paino pusing tujuh keliling.
Ia harus memikirkan kebutuhan hidup, belum lagi biaya
kebutuhan bayi mereka. Dan kini, ia mendengar keluhan
istrinya soal tagihan rumah kontrakan yang harus segera
dibayar. Uang darimana? Pikirnya.
Pernah ia ingin beralih jualan, tapi kini ia sudah tak pu-
nya modal. Uangnya tak ada yang tersisa. Untuk menekuni
sebagai buruh panggilan, tenaganya sedang tak dibutuhkan.
Bantuan dari pemeritah yang ia harapkan, malah tak juga
sampai kepadanya, mungkin malah sampai ke tangan ko-
ruptor. Bersyukur ia masih mendapatkan bantuan seplastik
beras dan sebotol minyak goreng dari Komunitas Pecinta
Kucing Oyen yang melakukan bakti sosial di wilayah tempat
tinggal Paino. Minyak gorengnya hingga kini masih utuh, di
rumah tak ada apapun yang bisa digoreng.
Suatu hari, bayinya menangis meronta-ronta. Ia tak
menyusu lantararan asi dari payudara Sri seakan telah me-
ngering. Entah apa penyebabnya, ataukah karena Sri kurang
asupan gizi? Badan bayi itu menghangat. Matanya terbelalak
73

