Page 89 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 89
mataku tak pernah terpejam menyaksikan semuanya. Lau-
tan apakah namanya? Itu bukan air, sepertinya cairan pekat
panas serupa lahar mendidih. Tak begitu jelas kulihat dari
atas namun panasnya terasa. Tak ada pilihan lain bagiku
selain melewati jembatan kecil berduri itu. Duri-duri begitu
garang menusuk kulit kakiku hingga lecet dan berdarah.
Melewati jembatan itu, tak bisa berhenti meski sejenak,
di belakang beberapa orang juga antri akan menyeberang.
Orang-orang itu tak saling bertegur sapa satu sama lain.
Mereka berseragam serba putih, sementara aku hanya me-
makai sarung dengan kaos oblong robek dan bolong bolong.
Ekspresi wajah mereka beraneka seperti para tokoh di pang-
gung sandiwara, ada yang tampak bengis, gembira, kecewa,
ada juga yang membawa duka teramat dalam. Mereka ber-
jalan berurutan dan aku berada di barisan paling depan.
Aku terhenyak, berhenti sejenak, hingga terasa seseo-
rang telah mendorong punggungku. Tubuhku terpelanting.
Menggantung dan terpantul dari ketinggian. Rupanya aku
terpeleset saat melewati jembatan itu dan lubang kaosku ma-
sih tersangkut duri yang bercokol di sepanjang jembatan. Tak
bisa kubayangkan jika aku jatuh ke dalamnya. Barangkali
tubuhku akan terbakar dan gosong seperti daging panggang
di atas bara. Atau jadi abu tak tersisa. Aku bergidik. Dengan
bibir bergetar, mulutku komat kamit mengulang doa.
Kulihat sendiri beberapa manusia berkain putih itu
ada yang gagal menyeberang, mereka jatuh ke kubangan. Ia
berenang di lautan darah hingga seluruh tubuhnya tampak
merah. Ia hendak mencari tepian namun sia-sia. Kubangan
71

