Page 98 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 98

Sejak saat itu, sarjana lulusan kampus ternama itu be-
           lajar menggali kuburan pertama kali untuk pusara ayahnya.
           Badannya yang kurus dan hitam tampak licin berkilat-kilat
           indah dalam guyuran keringat dan cahaya matahari. Gerakan
           mencangkulnya sangat luwes dan  mitayani seperti ada
           kekuatan gaib yang aneh menuntun dan menjalari jemarinya.
           Padahal selama ini Tarman tak pernah kuat angkat cangkul.
           Ia tak mampu kerja kasar dan hanya mampu pegang buku
           karya filsuf Nietzsche atau biografi Mao semasa kuliah.
           Entah dibaca atau tidak. “Biar kita tambah revolusioner”,
           saran teman-teman kuliahnya dulu. Pantas jika otot-ototnya
           sangat lembek, tangannya halus, sama sekali tak kapalan.
               “Kamu ini proletar yang menyaru priyayi,” ejek para
           demonstran lusuh dan tengil itu. Entah di mana sekarang
           mereka. Kata kabar burung, ada yang jadi petinggi partai.
           Ada yang jadi profesor. Juragan. Pemulung. Marbot. Ada
           pula yang mendekam di penjara karena korupsi. Tarman
           bukan tak pernah cari kerja kantoran, ia sudah mencoba
           magang sebagai pegawai administrasi semacam bank plecit
           atau mirip-mirip bank perkreditan kelas gurem. Bajunya
           bersih, wangi dan perlente. “Tidak sesuai kata hati, Mak.
           Saya tidak tega teman-teman Simak di pasar terjerat bu-
           nga-berbunga dan utang yang tak pernah usai. Saya juga tak
           tahan pakai dasi mencekik leher. Saya tak suka AC,” katanya
           berkilah pada ibunya.
               Tapi sebenarnya, bukan itu pokok persoalannya.
           Tarman hanya tak tahan dengan deraan perasaan aneh
           yang semakin sering mematuk-matuk hatinya. Ia selalu


                                  80
   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103