Page 132 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 132

menyantap sebanyak-banyaknya. Belum lagi bayangan ten-
           tang masa kecil saat berada dalam barisan pasukan takbir
           keliling. Membawa obor dari buluh bambu yang diisi minyak
           tanah dan sumbatan baju bekas sebagai sumbu. Bila buluh tak
           dapat ditemukan ayah, ia akan menggantinya dengan tangkai
           pepaya, meski ketahanannya tidak sebanding dengan buluh.
               Kenangan masa kecil itu merongrong, hingga kemudi-
           an saya tumbuh dewasa. Saya tidak pernah bisa melewatkan
           malam lebaran tanpa menguntit anak-anak berkeliling
           kampung atau pun melakukan gerakan tari dan drumband
           di depan RS PKU Kotagede. Mereka berdandan cantik sekali.
           Dengan pensil alis dan lipstik menyala. Berbaju gemerlap
           dalam beragam tema.
               Saya sering membayangkan ada dalam barisan tarian itu,
           tapi hingga kini, harapan itu tinggal harapan saja. Sepanjang
           jalan di Denpasar yang tidak saya ketahui ada di jalan mana
           tepatnya, saya menangis. Saya berjalan dengan air mata yang
           tidak pernah berhenti meleleh dari mata juga hidung. Tidak
           ada suara meraung-raung, tangisan yang pilu dan dalam.
               Dalam senyap Denpasar yang tidak merayakan lebaran
           itu, kami berhenti di sebuah rumah makan. Menyantap ple-
           cing kangkung dan sambal matah yang pedasnya luar biasa.
           Mata dan hidung saya terus meleleh air mata, kekasih saya
           memandang saya dengan wajah bersimpati.
               “Masih sedih ya?”
               “Ini plecingnya pedas sekali,” jawab saya sambil me-
           mandang ke tangan saya yang sedang menjumput kangkung
           dalam piring dan air mata itu masih terus meleleh dari mata


                                  114
   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137