Page 133 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 133
dan hidung saya. Namun demikian, dengan atau tanpa suara
takbir malam lebaran terus berjalan.
***
Aku tak menyangka, kesedihan itu hadir lagi bertahun
kemudian, saat saya sudah berkeluarga dan memiliki dua
anak.
Rinai, anak tertua saya, sudah mempersiapkan lampi-
on terbaiknya. Ia meminta saya membelinya dari seorang
pedagang di pinggir alun-alun kota. Bapaknya becerita
tentang kesedihan seluruh umat manusia yang tidak bisa
beraktivitas normal seperti biasa. Pandemi telah mengubah
banyak hal dalam waktu singkat. Orang tidak bisa beribadah,
tidak bisa berkumpul, dan merayakan apa pun. Bahkan
tak bisa pulang kampung. Namun, pedagang lampion,
kata bapaknya, di malam lebaran akan tetap menggelar
dagangannya. Lebih dari sekedar laku terjual, tapi demi
menjaga kenangan dan kerinduan. Barangkali bapaknya
terinspirasi dari cerita Gadis Korek Api.
“Meski tidak ada yang membeli, penjual lampion itu
tetap berdiri di alun-alun kota sampai pagi menjelang.
Lam-pion warna-warni itu berkedipan di temaram alun-
alun yang lengang. Itu berlangsung sepanjang malam di
akhir lebaran, hingga malam takbiran datang. Dan malam
lebaran, untuk pertama kalinya, tampak demikian lengang.”
Bapaknya menutup cerita, menatap dua anaknya yang
terhanyut dalam ceritanya.
“Belikan Rinai dan nyala ya, Pa,” kata Rinai disertai
115

