Page 135 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 135

kedodoran. Di telinga mereka terselip bunga sepatu yang
               hampir layu, merah kecocoklatan. Rinai memegang tongkat
               pada lampion, dia memencet tombol kecil untuk menyalakan
               lampu warna-warni yang berkerlip makin lemah. Lampu yang
               tidak menunggu waktu lama akan segera rusak, akan segera
               redup. Seperti malam lebaran kami yang begitu temaram.
                   Rinai dan Nyala berpegangan tangan seolah berdansa.
               Dia mengucapkan takbir dengan nada nyanyian seperti yang
               dilakukan kelompok takbir keliling yang pernah mereka lihat
               saat Idul Adha, sebelum semuanya berganti begitu cepat.
               Tidak ada kekecewaan di matanya. Bahkan mereka dapat
               bergembira hanya karena lampion dengan lampu kelap-kelip
               yang begitu temaram.
                   Di kejauhan, suara takbir masih terdengar.
                   Tigapuluh dua tahun hidup saya berlalu, setidaknya
               lebih dari dua puluh lima kali saya menanti adzan magrib
               dengan aroma opor ibu di beranda. Harumnya sama. Seperti
               harum tanah berlumut di depan rumah, aromanya selalu
               sama.
                   Dan malam ini, kami kehilangan semuanya. Merayakan
               malam lebaran sekaligus kehendak untuk mudik ke rumah
               ibu. Saya ingin menangis kencang karena malu pada keba-
               hagiaan Rinai dan Nyala yang tak berkehendak apa-apa,
               namun betapa kuat keinginan itu. Seperti ketika berjalan
               di sepanjang trotoar di Denpasar.



                                                             2020


                                      117
   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140