Page 35 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 35
Orang-orang pikir Kiai Jalil agak lajak. Mereka mengira
lelaki itu baru membaca kitab syair entahlah. Tetapi mereka
juga tidak bisa menampik cerita Kiai Jalil ketika salah seo-
rang berkata, “Ini Rabu Wekasan.” Tanggal 8 April.
Mendadak suasana warung menjadi lengang. Suara
radio seperti membungkam. Bulu kuduk menegak. Rabu
Wekasan dipercaya sebagai hari nahas.
“Cerita saya belum selesai,” lanjut Kiai Jalil.
Di makam yang berkilauan cahaya merah, dari jarak
kira-kira dua puluh meter, Kiai Jalil samar-samar melihat so-
sok laki-laki berdiri, bergeming dengan netra yang nyalang.
Kiai Jalil merinding ditatap lelaki itu. Ia tidak yakin sosok
itu adalah arwah Sayyid Yusuf meskipun penampakannya
sesuai cerita orang-orang: berserban dan berjubah hitam.
Ia duga setan telah menyaru. Sebab ia melihat wajah lelaki
itu dipenuhi ruam dengan raut sangar. Sayyid Yusuf, orang
yang dipercaya telah membawa terang syariat di kampung
itu, tidak mungkin berwajah siluman.
Maka, dengan gentar yang tak sanggup ditutup-tutupi,
Kiai Jalil memanjatkan Qunut Nazilah untuk menghalau
pencobaan yang melingkarinya, tetapi kata-katanya majal di
ujung lidah. Tubuhnya terkunci. Kadua kakinya terpancang
di lantai beranda. Ia seperti dipaksa menghadapi tilikan ta-
jam sosok mengerikan itu.
Dari tenggara, bayu berembus, menyapu pohon sukun
di sisi kuburan keramat yang teronggok di bantaran sungai.
Desaunya melabrak Kiai Jalil. Menyelimuti tubuh cekingnya
dengan dingin. Memulihkan jasadnya yang sempat lumpuh.
17

