Page 40 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 40
Maka lelaki itu melompat dari jendela dan kabur
meninggalkan puskesmas. Pikirannya kalap. Dadanya ter-
bakar amarah. Jantungnya meloncat-loncat. Ia hendak me-
nyambar pisau dapur di rumahnya dan bergegas ke rumah
kepala desa, menuntut dua puluh empat juta sisanya.
Di jalanan kampung, orang-orang berteriak panik
melihat Ramiso terbirit-birit. Warga khawatir ia akan me-
nebarkan wabah. Mereka tidak berani menangkap atau
menghentikannya. Tetapi mereka juga tidak melihat ruam
di tubuhnya.
Pada langkah kesekian, kaki Ramiso dihentikan oleh
jeritan yang saling bersahutan. Ia terperangah menyaksikan
beberapa lelaki keluar rumah dengan tubuh penuh ruam.
Orang-orang itu menanggalkan pakaian dan memekik,
“Panas! Panas! Panas!”
Semalam, Ramiso memang mendengar lamat-lamat
kidung Burdah dari arah selatan, dari kuburan Sayyid Yusuf.
Tetapi Ramiso tidak tahu, sejumlah warga mendesak Kiai
Jalil menyelenggarakan doa bersama di makam keramat itu,
melantunkan kasidah Burdah untuk menghalau wabah. Me-
reka tak mau pasien puskesmas bertambah. Tentu, tuntutan
itu menyenangkan Kiai Jalil. Kotak amal akan terisi penuh
dengan kehadiran jemaah yang ketakutan.
Mendengar rencana tersebut, dr. Simon berupaya
mencegah lelaki sepuh itu, “Jangan sampai, Pakyai. Pemerin-
tah sudah mewanti-wanti untuk menghentikan acara-acara
guyub. Wabah akan lekas menyebar. Kita tidak tahu siapa
saja orang yang terjangkit virus.”
22

