Page 39 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 39
bagai kaum rebahan, tetapi juga berlaga sebagai insan bakir.
Makan telur, ayam, daging sapi; lauk yang biasanya cuma ia
konsumsi setahun sekali ketika lebaran. Ditambah susu dan
buah-buahan. Mungkin beginilah rasanya jadi orang kaya,
begitu lelaki itu membayangkan.
Namun, hari-hari menyenangkan itu tidak bisa ditun-
taskan dengan purna. Pada hari kedelapan, sambil menik-
mati opor ayam, tak sengaja Ramiso melihat siaran berita di
televisi. Biasanya, ia cuma menonton sinetron, sepak bola,
reality show, dan acara omong kosong lainnya. Baginya, hi-
dup susah akan semakin ruwet jika kepalanya dijejali pro-
gram berita yang gemar mewartakan sikon negeri runyam ini.
Ini tidak bisa dibiarkan! batin Ramiso. Wajahnya murka.
Ia berhenti makan. Di lidahnya, opor ayam terasa ham-
bar. Televisi yang membuatnya hambar. Berita itu. Sekarang
Ramiso tahu, ia tengah dibodoh-bodohi. Mestinya, sebagai
pasien wabah merah, ia tidak menerima satu juta. Harusnya
dua puluh lima juta!
Ini jelas-jelas persekutuan setan antara Mirna, dr. Si-
mon, dan Kiai Jalil, gumam lelaki itu. Pantas saja, dari jen-
dela, kemarin ia melihat Kiai Jalil melenggang dengan motor
baru. Dan Mirna? Mungkin begitulah cara ia merampas
kesejahteraan rakyat, pikir Ramiso. Ia heran, kenapa warga
Sumber Bulan masih memilihnya. Keluarga Mirna telah
menjadi kepala desa turun-temurun dan tak ada perubahan
apa pun di desa kecil itu. Sumber Bulan tetap bobrok, se-
dangkan Mirna dan keluarganya berfoya-foya di atas kapal
mabuk.
21

