Page 36 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 36
Ia merenggut selembar daun sukun yang mendarat di an-
tara kedua kakinya. Godong kering itu menera tulisan arab:
ta’un. Wabah.
Setelah itu, cahaya merah sirna. Juga figur angker yang
tugur sekejap di bawah cungkup. Makam Sayyid Yusuf kem-
bali seperti sediakala. Lindap dalam cahaya lima watt.
Orang-orang terperangah. Dan mungkin agak panik.
“Bulan merah Rabu Wekasan dan gambar-gambar gan-
jil itu barangkali bukan pertanda baik.” Kiai Jalil memberi
tekanan pada setiap kata, membuat kalimatnya terdengar
lebih dramatis. “Daunnya masih ada di rumah. Kalau tidak
percaya, kalian bisa melihatnya.”
Mereka sudah tahu apa yang ingin disampaikan Kiai
Jalil dari cerita itu. Sejak sebulan lalu, televisi, radio, dan
surat kabar mewartakan berita buruk bahwa negeri ini sudah
terjangkit wabah merah yang sedang melanda dunia. Tak
ada negara yang luput dari penyakit itu, termasuk negeri ini.
Tetapi, bagai dibatasi pagar gaib, pandemi itu tak kun-
jung menerabas Sumber Bulan. Warga kampung itu memang
dikenal sebagai penduduk yang nyaris tanpa mobilitas, sukar
berinteraksi dengan orang-orang luar. Katak yang berladang
dan beternak di dalam tempurung.
Sumber Bulan juga desa yang terisolasi. Kampung itu
dikepung jenggala yang rawan. Konon, hutan itu adalah
tempat tinggal para penyamun. Siapa pun yang melintasi
satu-satunya jalan di wana itu tak ada yang lolos dari an-
caman penodong. Kendaraan apa pun tak mampu melaju
kencang di jalan amat rusak. Pihak yang berwenang tidak
18

