Page 86 - _Manusia_dan_Sastra_Fix-Antologi_Cerpen
P. 86
dan tak ada seorang pun yang tahu sejak kapan orangtua itu
ada.
Pemuda di sebelah orangtua itu adalah Han, dan
semua orang tak pernah mengetahui namanya yang asli dan
lengkap. Tak seperti namanya, wajahnya jelas tak terlihat
seperti seorang engkoh-engkoh peranakan. Hanya saja
wajahnya memang pucat seperti rembulan, tirus seperti
kaleng penyok, dan sendu bak seruling bambu Rumi. Mata
sembab dan jerawat antara dua matanya membisikkan
bahwa ia seorang bujangan, atau barangkali baru saja
mendapatkan masa bujangnya.
Semua orang tahu bahwa Han adalah mahasiswa
yang tak terbiasa berwajah suram seperti itu. Ia aktivis
kampus yang biasa ditemani oleh seorang kawan, seorang
kuli dhasaran kakilima yang biasa membuntuti serta
menemaninya dalam obrolan-obrolan yang sok aristokratis
di angkringan ini. Hanya saja, hari ini memang hari yang
tidak biasa. Tidak nampak sekalipun batang hidung
kawannya itu. Angkringan sepi meski penuh pembeli,
senyap meski banyak mulut mengecap.
Waktu bertabuh satu pagi, dan para pelanggan telah
berlalu dan berdatangan. Hanya ada dua orang yang tak
beranjak barang sejingkat pun. Mereka tak bergeming meski
di luar terjadi keributan antara seorang preman dengan
seorang pedagang kakilima yang merasa dipalak. Mereka
tak bernafsu meskipun minuman yang memenuhi gelas
mereka telah mendingin. Bahkan ketika preman yang baru
naik darah itu memasuki tenda angkringan mereka, tak ada
keinginan pun yang terlintas untuk pergi. Pak Kamso pun
mengira bahwa Han dan orangtua pendiam itu telah
bersekongkol untuk mengerjainya. Lantas buat apa ia
“Manusia dan Sastra” Antologi Cerpen Teater Getir UNSIQ
86

