Page 87 - _Manusia_dan_Sastra_Fix-Antologi_Cerpen
P. 87

menyajikan  minuman  panas  kepada  mereka,  hanya  untuk
           didiamkan dan mendingin saja?

                  Entah  atas  ilham  apa,  Pak  Kamso  kemudian
           berinisiatif  untuk  menanyai  orangtua  itu—jelaslah  ini
           sembarang  pertanyaan.  Setidaknya  basabasi  diperlukan
           untuk  menunjukkan  sisi  kemanusiaan,  meski  tidak  semua
           manusia      suka    dan    menikmati      basabasi.    Namun
           dengarkanlah,  betapa  indah  kedengarannya  basabasi
           itu: Bapak asli sini, Pak?

                  Yang  ditanyai  jelas  tidak  menjawab.  Sembari
           memandangi  gelas  wedang  jahe  yang  masih  penuh  di
           depannya,  ia  masih  terlihat  menikmati  renungannya.  Pak
           Kamso jadi merasa kikuk. Han yang sedari tadi termenung
           kemudian mencoba membangunkan kesadaran orangtua itu
           kembali. Ia letakkan tangannya di atas lutut orangtua itu.

                  “Pak?”

                  Orangtua  itu  kini  mampu  mengangkat  kepalanya,
           sekedar  menunjukkan  bahwa  kerut-kerut  di  wajahnya
           mengatakan  bahwa  ia  adalah  orang  yang  sangat  menua.
           Kini  ia  membuka  mulutnya,  memperlihatkan  lubang  yang
           terlihat sangat gelap dan dalam.
                  “Maniti. Ya, itu namaku. Maniti,” jawabnya lesu.

                  “Nama macam apa itu?” timpal seseorang.

                  Preman  yang  darahnya  sempat  naik  itu  terlihat
           tersenyum menghinakan.

                  “Memangnya kamu itu siapa?” Jawaban orangtua itu
           membuat  darah  si  preman  kembali  naik.  Ia  menjawab
           setengah membentak.

           “Manusia dan Sastra” Antologi Cerpen Teater Getir UNSIQ

                                                                            87
   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91   92