Page 126 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 126
115
tubuhku yang subur.
"Plok! Mampus! Rasain kamu!" Aku menepukkan ta-
ngan dan seekor nyamuk tergencet. Badannya gepeng dan
darah merahnya menempel di tanganku.
"Ini darahku, sialan!" umpatku kesal.
Istri Wayan membawa semprotan nyamuk. la terse-
nyum.
"Maklum Mas
Di sini memang dekat dengan tempat yang dimaksud
oleh istri Wayan. Sebuah cekungan luas yang dijadikan war-
ga sekitar sebagai tempat pembuangan sampah terakhir.
Sampah plastik, daun pisang hingga sisa-sisa makanan yang
mungkin dibuang dari warung kaki lima menimbun areal
tersebut menggunung dan tampak tak terurus. Belum lagi
genangan air karena hujan yang tidak dapat meresap mem-
buat cekungan itu tampak seperti rawa. Rawa berair hitam
mirip ampas kopi, baunya jangan ditanya!
Nyamuk tidak juga berkurang meskipun istri Wayan ta-
di sudah memberi semprotan pembasmi nyamuk. Aku men-
jadi sangat terganggu. Makhluk-makhluk kecil itu menyer-
angku dari berbagai arah. Suaranya mendengung keras
membuatku tambah uring-uringan. Aku mengambil sarung
dan kubenamkan diriku di daiamnya, tetapi tetap saja terasa
tak nyaman. Tubuhku masih gatal dan aku juga masih men-
dengar nyaring dengungan itu.
Aku kemudian berpikiran untuk mandi. Kusambar han-
duk dan buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Paling ti
dak nyamuk akan menjauh dari sesuatu yang berbau harum,
perkiraanku. Di dalam kamar mandi, kulihat beberapa nya
muk beterbangan di dekat eternit. Lampu yang redup mem
buatku kesulitan menaksir berapa ekor nyamuk yang ada.
Aku mandi dengan resah. Aku mengguyur tubuhku dengan
air, tapi mataku tetap tak lepas menatap dua ekor nyamuk
yang seakan menggodaku, terbang rendah kemudian naik

