Page 122 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 122

Ill




        manya meninggal dulu. Tiga hari lamanya ia tidak mau ke
       luar kamar. Makan yang dibawa oleh Mbok Tinem pun hanya
       disentuhnya sedikit, la kurus dan pucat persis seperti mayat
        hidup. Pipinya yang tirus semakin tampak pipih. Tak digu-
        brisnya teman-teman serta sanak saudara yang berkunjung
        untuk menghiburnya. Aku sudah berusaha segala cara hing-
       ga dukun pun kudatangkan. Kubeiikan kaset pemusik-pemu-
       sik idolanya, semata-mata hanya untuk menghapus men-
       dung di wajahnya, tetapi tetap tidak ada hasilnya.
             Sampai hari keempat, Indah akhirnya ke iuar kamar.
       Semua yang ada di rumah bisa bernapas lega meskipun ti
       dak ada seorang pun yang berani menyapa—termasuk aku
       sekalipun— lantaran takut jangan-jangan emosi Indah belum
       stabil. Bukan tidak mungkin salah ucap membuatnya kem-
       bali ngambek dan mengurung diri di kamar.
            "Indah nggak apa-apa kok, Pa! Indah tahu mama pasti
       bahagia di sana!" Itu adalah senyum pertama Indah seteiah
       tiga hari aku sangat mengkhawatirkan dirinya. Rasanya se
       perti melihat matahari pertama muncul seteiah sebuian ia-
       manya terkurung salju.
             Indah paling tidak suka jika ada orang yang menying-
       gung mamanya. Indah tidak sanggup membendung kesedih-
       annya biia mengingat kematiannya. Ia merasa tidak memi-
       kirkannya iebih  balk daripada mengingatnya lantas kemu-
       dian merasa sangat kehilangan.
             Sejujurnya  bagiku  melihat  Indah  bisa  tetap  tegar
       menghadapi kematian mamanya adaiah suatu hai yang luar
       biasa. Indah yang baru duduk di kelas satu SMA bisa meja-
       kukarv hal itu. Ia bahkan belum genap berumur 15 tahun
       saat itu. Tentu tidak mudah baginya.
            "Kamu terlalu  memanjakannya, WanI" Sahid, kolega
       sekaligus sahabat dekatku suatu hart berkomentar.
            "Aku tak tega memarahtnya! Dia tentu sudah terpukui
       sekali  dengan  kematian  mamanya. Jangan sampai aku
   117   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127