Page 124 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 124
113
Aku berada di Lamongan. Ini adalah kunjungan ketiga-
ku setelah pertama aku ke Bandung lalu ke Malang untuk
mengecek penjualan outlet komputerku di sana. Cukup lama
aku harus meninggaikan rumah. RIndu menusuk bila petang
datang aku selalu mencium bau tanah basah. Rumahku yang
asri terbayang lag!. Kemudlan, puncaknya aku ingat Indah,
dan baru kusadari betapa waktu yang kami habiskan ber-
sama teramat sedikit,
Setelah mendiamkan aku selama seharl pepuh, akhlr-
nya Indah mau juga membuka mulut.
"Pa boleh nggak besok Indah pergi ke Semarang?
Teman Indah ada yang sedang dioperasi plastik. Indah dl-
minta nemanln."
Senyumku mengembang. Kebekuan Itu akhlrnya men-
cair. Aku menatapnya seperti menatap horizon di kejauhan
dan kemudlan bersyukur bahwa dunia masih ada hingga
detik ini.
"Boleh, 'kan, Pa? Indah menggigit bibir.
"Apa sih yang nggak buat kamu, Ndah," batinku.
Aku mengusap peluh. Baru kusadari cuaca di daerah si-
ni minta ampun panasnya! Aku membuka kancing kemeja
teratasku dan mulai betjalan menyusuri gang kecil. Becak
yang tadi kunaiki hanya bisa mengantarkan sampal ujung
gang. Beberapa kali aku memastikan apakah aku masuk ke
deretan rumah yang benar. Rumah-rumah ini sangat seder-
hana, berpagar, dan gapura rendah yang kadang lapisan
catnya lapuk dimakan usia atau hijau ditumbuhi lumut. Di
sana sini, bahkan batu matanya gempii. Hampir setiap ru
mah memiliki halaman depan luas dengan tanaman teh-
tehan yang dipangkas rapi berbentuk buiat-buiat. Teringat
rumahku sewaktu aku masih keeil dulu. Halaman yang luas
dan aku suka sekali memanjat pohon belimbing sembari me-
nunggu penjual iopis lewat
Aku melirik secartk kertas kecil di tanganku, tertera se-

