Page 135 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 135

124



         merasa seperti seorang ibu yang berusaha membujuk anak-
         nya supaya  menghabiskan makanannya. Betapa pun aku
         memaksa, dia tetap menyisakan separuh isi  mangkuk itu.
         Tetapi, itu sudah cukup menggembirakan bagiku menglngat
         kemarin dIa tak  mau makan sedikit  pun. Sesudah mem-
         bantunya minum obat, aku memenuhi janji  menemaninya
         ngobrol. Semula dia  minta  diantar  berjalan-jalan  dengan
         kursi roda, tetapi aku menolak karena dokter belum meng-
         izinkan dia turun dari tempat tidur. Akhirnya, kami hanya
         duduk-duduk di kamar sambil menyalakan tape yang me-
         mutar Piano Concerto karya Mozart.
              "Sudah lama jadi  perawat?" tanyanya  pelan. Pung-
         gungnya bersandar pada bantal yang kususun tinggi supaya
         ia bisa duduk dengan nyaman.
              "Lumayan," jawabku pendek. "Sejak lulus dari Akper."
              "Sekarang umur berapa?"
               Aku tersenyum. "Saya dengar pertanyaan itu tabu di-
         ucapkan oleh pria pada wanita."
               Leiaki tua itu manggut-manggut.
              "Senang jadi perawat?" katanya lagi.
              "Yah, namanya hidup ya ada suka dukanya to, Pak."
              "Cita-cita sejak kecil?"
               Aku berdehem kecil sambil memperbaiki ietak duduk-
         ku. "Orang tua saya bukan orang kaya, Pak. Mereka ingin
         saya segera bekeija begitu lulus sekolah. Kebetulan saya se
         nang berada di tengah orang-orang yang membutuhkan per-
         tolongan. 3adi, ...," ceritaku terhenti. Aku sadar telah bicara
         terlalu banyak.
               "Jadi, apa?" desak leiaki tua itu. Aku menatap mata-
          nya.
               "Mungkin memang begini takdir saya, Pak," jawabku
         akhirnya. Sederhana dan pasrah dan dia termangu.
               "Sus percaya takdir?"
               Aku mengangguk mantap.
   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140