Page 140 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 140
129
tidur
Aku menghela napas.
"Tuhanku, aku bul^nlah orang yang pantas untuk sur-
ga-Mu. IMamun aku tak kuat pada neraka'^Mu. Maka, terima-
lah tobatku dan ampunilah dosaku. Sesungguhnya, Engkau
Mahapengampun segala dosa."
Aku berhenti. Kilihat pipi lelaki itu basah. Aku merasa
bersalah. Cepat-cepat kumatikan lampu dan mengucapkan
selamat malam. Entah mengapa dadaku tiba-tiba terasa se-
sak sampai ke leher.
Hari-hari berikutnya bapak tua itu menyibukkan diri de-
ngan buku Bacaan Mutia-nya. la makin jarang ngobrol de-
nganku. Bagiku tidak masalah, tetapi kesulltan selaiu mun-
cul setlap kali ia seiesai membaca satu bahasan. la selaiu
mengajakku untuk mendiskusikan isi buku itu. Aku, dengan
segala keterbatasanku sebagai seorang perawat yang ham-
pir tak pernah mempunyai waktu untuk membaca, terpaksa
melayaninya mendengarkan keluh kesahnya yang bernada
retoris. Dan, ujung-ujungnya pasti bermuara pada satu per-
tanyaan, "Bagaimana jiwa yang tenang itu sebenarnya?"
Sempat terpikir olehku untuk memanggil seorang psi-
kiater. Aku tak peduli pada dokter yang merawat bapak tua
ini. Dia hanya tahu keluhan fisik, namun tak pernah dapat
mendengar ratapan batin. Tetapi, aku sadar bahwa aku bu-
kan apa-apa. Aku hanya suster yang mendapat tugas men-
jaga seorang lelaki tua yang sakit lahir batin tanpa sanggup
berbuat banyak untuk menolongnya. Kesadaran itulah yang
mencegahku lancang melangkah lebih jauh lagi meskipun itu
demi pasienku sendiri.
Beberapa hari setelah anak tunggalnya beserta istrinya
berangkat ke tanah suci, mendadak penyakit jantungnya
kambuh. Dokter memutuskan ia harus dioperasi. Aku panik.
Kedua cucunya yang kuhubungi tidak dapat menunggui sang
kakek karena masing-masing sedang sibuk dengan ujian

