Page 145 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 145

Puspita Wati Ajeng Maheshya





               iang ini cuaca mendung dan angin terasa sedikit lebih
               kencang dari biasanya. Tapi, rasanya aku enggan untuk
           memasuki rumah, aku masih ingin memandang setiap sudut
           rumah tua yang baru dibeli orang tuaku. Rumah tua ini me-
           miliki halaman yang luas, hampir lima kail besar rumah ini.
           Selain itu, haiamannya tampak sangat rindang dengan po-
           hon-pohon besar yang kurasa usianya sama dengan usia
           rumah ini. Sebenarnya rumah tua ini tampak mewah dengan
           gaya bangunan Eropa. Seiagi kunikmati pesona rumah tua
           itu terdengar suara memanggiiku di atas.
                "Ricky, ayo cepat masuk, sebentar lagi hujan!"
                 Kudongakkan  kepaiaku, kulihat  mama melambaikan
           tangannya ke luar jendela menyuruhku masuk, tapi bebera-
           pa saat kulihat ada bayangan putih di beiakang mama. Ba-
           yangan itu berjaian dan berlalu begitu saja.
                 Papa sudah pulang? Tanyaku pada diriku sendiri sambil
           berjaian memasuki rumah.
                "Krieeeek ..." suara pintu terbuka tak enak didengar.
                "Pintu itu harus diberi minyak," segera kulumasi engsel
           yang besar dan berkarat itu, tapi masih tampak kukuh me-
           nyangga pintu besar ini. Saat kuminyaki engsel itu aku dike-
           jutkan oleh angin yang tiba-tiba terasa di leher beiakangku.
                 "Ricky, kamu ini kenapa pucat begitu? Aduh, kenapa
   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150