Page 138 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 138
127
"Ah, sudahlah," dokter mencocokkan arlojinya dengan
jam dinding. "Sepertinya masuk jam Isesuk. Pergilah ke ka-
mar bapak itu, bapangkali ada keluai^anya yang mau men-
jenguk."
Aku menurut. Kutinggalkan ruangan dokter dengan
membawa baki kecil berisi obat, alat suntik, dan rasa pe-
nasaran yang tak teijawab.
Aku mendengar tawa di kamar bapak tua itu. Kelihat-
annya ada banyak orang di sana. Saat aku masuk, lelaki tua
itu sedang bercanda dengan dua orang gadis belasan tahun.
Mereka menoleh padaku.
"Sus, kemarllah. Ini cucu-cucu saya," panggilnya ra-
mah. Kedua gadis itu mengangguk sopan sambil tersenyum.
Manis sekali. Aku membalas senyum mereka.
"Maaf, kami masuk tanpa izin. Tadi kami lihat kamar
Eyang kosong, jadi kami langsung masuk," kata yang besar.
Kami saling berjabatan tangan dan memperkenalkan
diri. Setelah itu, saat kukemasi pakaian kotor, kudengar me
reka mengganggu kakeknya lagi.
"Pantasan Eyang betah di sini. Kamarnya lengkap, ada
TV, kulkas, tape, perabotannya bagus, kasurnya empuk
lagi," komentar si adik.
"Dan sambung yang pertama," ditemani suster
cantik lagi."
Keduanya tertawa tertahan melihat kakeknya salah
tingkah, sementara aku memilih diam pura-pura tak men
dengar. Rasanya lebih baik aku tidak berada di sini lama-
lama.
"Yang, Bapak sama Ibu titip salam. Katanya baru bisa
ke sini nanti malam. Terus, Bapak juga minta doa restu su-
paya peijanya lancar dan bisa kembali ke tanah air dengan
selamat."
Kakek itu diam sambil mengangguk-angguk. Aku mem
bawa keranjang berisi cucian keluar. Adat sopan santun

