Page 39 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 39
28
profesional—clia kepala sekolah ditempat aku mengajar—tapi
tidak pernah secara pribadi. Sejak mulai mengajar aku me-
mang menangkap sinyal menarik dari diri, minat dan kecer-
dasannya. Agaknya dia menyadari hal itu, dan tidak kebe-
ratan membiarkan aku mengetahui apa saja yang dia per-
cayai, pertanyakan dan permasalahkan. Dengan caranya
yang menakjubkan seolah dia mengorek aspek yang sama
dari diriku.
Jadilah kami nongkrong di ruang kepala sekolah ber-
jam-jam setiap Sabtu setelah sekolah usai. Aku begitu ke-
canduan pembicaraan Sabtu sore kami, tidak peduli apa kata
orang lain. Pokoknya kemaman profesionaiku tidak tergang-
gu, dan murid-muridku masih menyukai kelasku. Masalah
baru muncul ketika aku mulai pacaran dengan suamiku itu.
Meskipun tidak pernah secara eksplisit menyatakan tidak
suka, dia selalu menanyakan apa saja yang aku dan kepala
sekoiahku bicarakan. Entah bagaimana, aku selalu dapat
tepat mengetahui bahwa suamiku tidak akan memahami apa
pun pembicaraan kami, seberapa jelasnya aku bercerita.
Tapi, ritual Sabtu itu berakhir juga setelah kepala se
koiahku tahu aku pacaran. Dia mengajukan etika, moral, so-
pan santun, dan entah apa lagi sebagai alasan. Aku tidak bi-
sa memveto keputusan itu, posisiku tidak cukup kuat. Pa-
dahal aku baru merasa dapat menempatkan suatu segitiga
baru dengan tepat. Aku, kepala sekoiahku, dan rasa hormat.
Bagaimana dengan suamiku saat itu? Dia keiihatannya
cukup senang dengan jadwal baruku. Itulah pertama kalinya
aku sadar bahwa sekali lagi segitiga itu muncul. Kali ini
dengan aku, cinta dari dia, dan tanpa dirinya sebagai laki-
laki. Aku bisa memandang tembus karakternya.
Lalu, kenapa aku tetap menerima lamarannya? Sejak
detik aku menjawab 'ya' sampai sekarang aku sudah mem-
punyai lebih dari seribu versi alasan. Dulu kukira karena aku
menemukan sisi lain diriku darinya: sisi perempuan yang di-

