Page 51 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 51

40




       ibunya memotong.
            "Sudah, ndak apa-apa. Sekarang kamu pulang saja,
       mas-masmu sudah menunggu di rumah," perintah ibu.
            Dari tatapan ibunya, Dlta tahu kalau ibu sedang sedih
       dan sedang ingin sendiri. Oleh karena itu, ia iangsung me-
       nurut walaupun sebenarnya tidak tega meninggaikan ibunya
       sendirian.
            "Baik Bu, Dita puiang duiu," pamit Dita sambii men-
       cium tangan kanan Ibunya.



            Senin malam, di ruang keiuarga rumah Dita.
            "Kok, sepi  ya, Mas," kata  Dita  saat semua kakak-
       kakaknya berkumpui.
            "lya, nggak ada Eyang, seperti ada sesuatu yang hi-
       lang. Kalau ditinggal  Bapak dengan Ibu, itu  sudah biasa.
       Tapi, ditinggal Eyang. Kapan ya terakhir Eyang pergi sampai
       nggak pulang?" tanya Tama.
            "Duiu, waktu Dita masih TK. Waktu itu, Dita sama Ta
       ma nangis, 'kan? Gara-gara ditinggal Eyang Putri ke Bogor?
       Idih  malu-maluin." Hanif tertawa mengingat peristiwa saat
       itu. Dita dan Tama hanya bisa cengengesan.
            "Kalau dipikir-pikir, Eyang itu  gaul, ya?" Wisnu yang
       dari tadi diam, tiba-tiba ikut bicara.
            "Kok bisa?" Dita tidak mengerti.
            "Kamu pasti berpikir kalau Eyang kita itu koiot. Kalau
       Eyang  itu  koiot, pasti  kamu nggak boleh sekoiah. 'Kan,
       cewek zaman duiu nggak boleh sekoiah. Apa enaknya setiap
       hari di rumah. Biar begitu, Eyang kita ini guru besar iho, Dit,
       Eyang  Kakung juga. Bahasa Inggrisnya  kalau  dibanding
       sama kamu jauh banget. Kata Mas Hanif, Eyang duiu pernah
       sekoiah di luar negeri. lya kan Mas?" tanya Wisnu. Hanif
        mengangguk.
             "Lho, kok Dita nggak tahu," Dita protes.
   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56