Page 84 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 84

73



       kuliah di luar kota. Sekarang sudah menjadi rutinitasnya me
       naikan salat subuh bersama papa. la dapat merasakan ke-
       indahan air mata yang mengalir di  pipinya dan kesejukan
       ketika  mendum punggung tangan  papa. Andai . kakak-ka-
       kaknya dapat merasakan hal yang sama.
            Pagi itu ia sarapan bersama papa. Sebelumnya, Ranti
       sudah menyiapkan nasi goreng untuk sarapan mereka. Papa
       terlihat lebih pendiam dari biasanya^
             "Papa  mau bicara  sebentar," ucap  papa datar tapi
       mampu menghentikan iangkah kaki Ranti. Ia urung untuk
       membawa piring kotor ke dapur.
            "Setelah papa pikirkan masak-masak, papa mengambil
       keputusan untuk menjual rumah ini. Bagaimana pun kuliah-
       mu lebih penting apalagi rumah ini terlalu besar bila dihuni
       oleh kita berdua saja," lanjut papa.
            Ranti hanya terpaku. kakinya terasa melemas. Bagai
       mana pun ia tidak mampu menutupi rasa keterkejutannya.
             "Tapi, rumah ini sangat berarti bagi kita," ucap Ranti
       gemetar.
            Papa  memalingkan  muka. "Ini sudah  menjadi kepu
      tusan papa."
            "Tapi, Pa rumah ini ... rumah ini adalah kenangan ma
       ma. Ranti ...." Ranti tak kuasa meneruskan kata-katanya.
       Air matanya meloncat satu-satu dari kelopak matanya. Ia
      tak berusaha untuk menyekanya. Dengan haru papa me-
      rengkuh pundaknya. Tangis Ranti pecah. Begitu banyak ke-
       pedihan yang mesti ia rasakan.
            "Cobalah minta bantuan Mbak Ida, Pa," ucap Ranti pe-
      lan  walaupun ia  ragu dengan ucapannya sendiri. Terakhir
      Papa menepon Mbak Ida hanya tanggapan acuh tak acuh
      yang ditunjukkan mbak Ida. Ranti tahu kakaknya masih me-
       nyimpan luka di dadanya. Mbak Ida juga tidak percaya bah-
      wa usaha papa terancam bangkrut.
            Ranti bukannya tidak pernah menghubungi kakaknya
   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88   89