Page 89 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 89
78
dari Semarang akan lewat. Hanya tewat, tidak berhenti. Se-
orang |>(^gas stasiun tergopohrgopoh melangkah ke jalur
rel, memeriksa dan menyambut kereta api yang lewat.
Beberapa pedagang asongan yang sedari tadi menung-
gu kereta berhenti terlihat sangat kecewa. Gumaman kecll
sebentar-sebentar terdengar ke luar dari mulut mereka yang
penuh beban dan penderitaan.
Kereta lewat penuh sesak. Penumpang beijejal-jejal
dan bertumpuk-tumpuk seperti ikan pepes, malah sepintas
terlihat seorang pria tertidur sambil berdiri. Sembilan ger-
bong semua penuh sesak oleh batang-batang tubuh manusia
besar dan kecil. Ya, kereta tidak akan pernah mau berhenti
di stasiun yang penuh kemalasan ini.
"Pantas Jakarta tidak pernah sepi," kataku dalam hati.
"Setiap hari ribuan orang datang ke sana, kasihan sekali
beban yang ditanggung Jakarta."
Sudah lima kereta yang lewat, semuanya penuh.
Suasana kembali hening, hanya terdengar sesekali gu
maman seorang anak kecil yang tertidur di kursi stasiun, te-
pat di samping kiri depan dari tempat dudukku. Wajahnya
sangat cerah dalam tidurnya, tidak terlihat sama sekali ke-
sengsaraan yang selama ini sangat dirasakannya sebagai
seorang pengamen kecil. Mungkin dia bermimpi sedang tidur
di kamar yang besar dengan kasur empuk yang membul-
membul dan udara dingin air conditioner yang ada di kamar-
nya.
Aku tersenyum membayangkan semuanya.
Kulihat kembali dua lelaki di belakangku masih ada.
Keduanya sedang bercakap-cakap, pelan sekali. Aku tidak
tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi, sekali-kali
mereka melirikku ketika sedang bercakap-cakap. Mungkin
mereka menertawakanku.
"Ah, mungkin hanya perasaanmu saja." kata hatiku.
Malam belum begitu larut. Jam di dinding stasiun masih

