Page 85 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 85
74
itu. la sudah berusaha menjelaskan semampunya walaupun
papa melarang. Mau tahu jawaban kakaknya?
"Papamu itu minta tolong kalau ada maunya saja, Ran.
Kamu itu anak kandung Papa. Jadi, sudah kewajiban Papa
untuk menafkahimu. Buktinya untuk membiayai si Rindo,
anaknya Tante Rima, Papa bisa. Masak untuk darah da-
gingnya sendiri Papa nggak mampu. Aneh ...," ucap Mbak
Ida ketus.
"Tapi, keadaannya sekarang berbeda, Mbak. Usaha Pa
pa bangkrut. Lagi pula Papa sekarang membutuhkan so-
kongan dari kita semua. Ingat, mbak, Papa sudah tua. Su
dah waktunya kita membalas budi kepada orang tua. Orang
II
Omongan Ranti dibalas Mbak Ida dengan sengit.
"Oh, ... ya setelah apa yang Papa lakukan kepada kita
selama ini. Tidak Ranti, tidak segampang itu. Ah, sudahlah
aku sudah tidak mau ambil pusing dengan permasalahan
ini."
Pembicaraan itu pun terputus dengan bantingan ga-
gang telepon dari seberang.
Papa melepaskan rengkuhannya. "Sudahlah, cepat per-
gi ke kampus. Jangan sampai kamu terlambat mengikuti ku-
liah," ucap papa seraya menyodorkan sapu tangan.
Ranti tersenyum tipis. Sudah lama ia tidak merasakan
kehangatan pelukan papa. Lama ... sekali. Bolehkah ia ber-
syukur di antara kesusahan yang begitu banyak meng-
himpitnya.
Siang di tembalang benar-benar terik. Dengan gontai
Ranti mengayuhkan langkahnya menyusuri koridor gedung
utama ruang perkuliahannya. Baru saja ia mengembalikan
peralatan yang dipinjamnya dari laboratorium tanah. Sebe-
lumnya, ia harus merelakan diri berpanas-panas di bawah
terik matahari untuk melakukan pengukuran. Mata kuliah
perpetaan memang menguras banyak tenaga.

