Page 91 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 91
80
duk di samping pintu masuk stasiun. Tangannya dllambai-
lambaikan supaya orang yang dipanggil Inih itu datang men-
dekat, "Kemari, duduk saja di sini, dibangku."
Orang yang dipanggil Inih itu mendekat. Kulihat dia
menggendong seorang anak perempuan yang kira-kira ber-
umur lima tahun, tertidur sangat pulas.
"Ini istriku, namanya Inih. Oh, ya ngomong-ngomong
dari tadi kita belum berkenalan. Nama saya Broto, Broto
Suhiro," sambil tangannya disodorkan ke hadapanku layak-
nya seorang yang mengajak bersalaman. "Tapi, cukup di
panggil Broto saja, kalau Mbak siapa?"
"Saya Imas, Pak."
"Oh, Dik Imas, ya."
Aku mengangguk. "Maaf Pak! Tadi pertanyaan saya be
lum dijawab," kataku yang mulai penasaran. "Bapak dan Ibu
ini sebenarnya mau ke mana?"
"Ceritanya sangat panjang," kata Pak Broto sambil
menghela napas. Wajahnya terlihat memancarkan suatu ke-
sedihan yang mendalam.
"Kami dari Jakarta, dan sampai saat ini tidak tahu mau
ke mana ...." Pak Broto tidak meneruskan kalimatnya.
Kami saling diam. Aku sengaja tidak mengajukan per
tanyaan lag!, takut membangkitkan kesedihannya yang aku
sendiri belum mengetahui apa permasalahannya.
Istri Pak Broto kulihat terkantuk-kantuk sambil duduk
di samping Pak Broto. Terlihat sekali rasa lelah yang sangat
tinggi dari raut mukanya, seperti menanggung beban yang
sangat berat.
"Dik Imas," Pak Broto membuka pembicaraannya.
"Manusia itu ternyata rakus sekali, selalu merasa kurang dan
kurang, padahal harta dan kebutuhannya sudah terpenuhi."
"Saya rasa tidak semua orang begitu Pak," timpalku.
"Ya, tetapi dalam kenyataannya sebagian besar begi
tu."

