Page 62 - Menggapai langit, Antologi Cerpen Remaja (2008)
        P. 62
     menjadi janjiku.
                 Rumah-rumah seolah  berjalan  seperti  waktu  yang
          berlalu. Seiring hatiku yang semakin layu. Rumah-rumah teman
          yang pernah kusinggahi melintas begitu saja dan juga taman
          kanak-kanak, sekolah  dasarku  yang dulu  pernah  kulewati
          dengan bahagia. Kenangan itu seperti gedung-gedung tua yang
          pudar terkikis usia.
                 Sepasang  bola  mataku  masih  berkaca-kaca.  Aku
          memejamkan kedua mataku dengan pelan. Takut peluh itu
          pecah. Aku sudah beijanji kepada diriku untuk tidak menangis.
          Ya, aku tidak boleh menangis apapun yang bakal terjadi.
                 Perhatianku  teralih  kepada seorang  lelaki  yang
          mengecup kening seorang anak lelaki yang berada di gendoiigan
         ibunya, sebelum ia masuk taman kanak-kanak. Semenjak lahir,
         keningku tidak pernah dikecup oleh ayah. Aku mengenal ayah
         dari cerita ibu dan foto-foto yang tersisa.
                "Kamu harus bangga kepada ayahmu," begitu kata ibu
         kala itu.
                 Ayah adalah seorang pahlawan ketika usia pernikahan
         almarhum dengan ibu yang masih menginjak setahun. Aku lahir
         ketika nafas ayah tidak dapat lagi dihembuskan di udara. Aku
          masih teringat betapa perjuangan ibu saat itu. Ibu menghadapi
          masa itu dengan penuh kegigihan dan kesabaran. Aku berani
         bertaruh, orang yang kukenal di dunia ini tak ada yang sabar
         seperti kesabaran yang dimiliki oleh ibu.
                Semenjak ayah meninggal, hanya sebuah becak tua yang
         ditinggalkan ayah. Semenjak itu pula, ibu mulai menjadi tukang
         becak menggantikan posisi ayah. Ibu menjadi tukang becak sejak
                L^wg/t.... (l^inkan Kurnia, SM.AN Scmarang)          55
     	
