Page 74 - Menggapai langit, Antologi Cerpen Remaja (2008)
P. 74

kepadamu, kelak untukbekal masa depanmu."
                  Ibu  tak  pernah berhenti  berdoa  dap  malam. Sering
           kuintip ibu menangis dalam doa meminta panjang umur agar
           bisa  menjadikanku  lelaki  yang  memiliki  masa  depan, ia
           membiayaiku agar aku lulus sarjana ekonomi.
                  Dadaku makinsesak melihat semuanya. Bibirku gemetar.
           Dadaku bergemuruh. Ingin rasanya berlari ke arah ibu dan
           memeluknya, bersimpuh di hadapannya dan memohon maaf
           a tas semua yang pernah kulakukan.
                  "Kalaupun Ibu mad, Ibu sudah bangga melihatmu!"
           begitu kata ibu kedka kita sedang meributkan tentang becak yang
           dijual ibu.
                   Aku tak bisa lagi menahan peluh yang mengalir di pelipis
           mata. Cahaya-cahaya berkilat di luar menerpa tubuhku dan
           mukaku. Aku tak peduli. Air mata ini terus mengalir seperti es
           yang mencair. Semua terasa  gedr. Tak mungkin aku akan
           menghancurkan perasaan ibu atau membuadiya kecewa. Tak
           mungkin aku membayar apa yang pernah ibu korbankan demi
           diriku. Seluruh harta paling berharga, peninggalan satu-satunya
           dari ayah yang dibanggakan dijualnya.
                  "Bukankah ini peninggalan ayah yang paling berharga
           buat Ibu?" kataku saat ibu memberiku uang untuk kuliah.

                  'Tbu ddak akan mewarisimu harta atau kenangan sayang.
           Ibu hanya puny a ini, Ibu ingin mewarisi ilmu," begitu alasan ibu.
                   Sebuah alasan  yang sama, tetapi  alasan itu  sangat
           bermakna  dan saat  itu  aku sangat gigih  untuk segera
            menyelesaikan  studiku.  Akhirnya, aku  mendapatkan gelar
           kesarjanaan. Betapa  air  mata kami terburai  bahagia. Aku


           Mengocfpcn hcingit.... (l^inkan Kurnia, SMAN Scmarang)       67
   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79