Page 124 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 124
membangkangi fatwa guru mereka, Syekh Koto Tuo dari
Ampek Angkek Canduang.
Ulama besar itu mencegah memerangi saudara sesama
Muslim. Kadar Iman orang Minangkabau masih ditingkat
Makkiyah belum Madaniyah. Seharusya, pihak Paderi
berdakwah memakai pendekatan ukhuwah bukan dengan
senjata. Beliau berdalil asyiddau alal kuffar wa ruhamau
bainahum, (tegas kepada orang kafir beramah tamah antara
kamu). Tapi waktu itu pihak Paderi bersikukuh menilai mereka
telah murtad dan harus diperangi. Akibat melawan guru
perjuangan kandas ditengah jalan.
Begitupun tadinya pihak Ninik Mamak telah dinasehati
oleh Datuk Satidari Bonjol, agar dalam “Salisiah badunsanak
usah mahangok kalua badan”. Adalah kesalahan besar mintak
tolong ke VOC. Belanda itu penyakit, bukan obat. Sekarang apa
hendak dikata, nasi telah jadi bubur. Atas kajian ini timbulah
keinsyafan. Petunjuk Allah pun datang. Mereka bersepakat
untuk mengadakan ishlah semacam “Rujuk Nasional”
Kemudian terselenggaralah Musyawarah besar antara Ulama
dan Ninik Mamak di Bukit Marapalam di Puncak Pato.
Musyawarah ini membuahkan putusan bahwa: Adat dan
Agama tidak lagi dipisahkan, Umarak dan Ulama harus bersatu
untuk selamanya. Nah, itulah yang dituangkan dalam Piagam
Bukik Marapalam, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah.
Sesungguhnya, konflik hitam putih hanyalah pemicu. Pada
hakikatnya, Perang Paderi adalah perlawanan total anak
Minang mengusir penjajah. Dia merupakan satu babak dari
episode panjang perang Kemerdekaan menuju Revolusi 1945.
Walaupun Paderi kalah secara fisik, hikmahnya menang dalam
konsolidasi Nasional dan Agama sehingga Minangkabau
Menyingkap Wajah 95
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya