Page 167 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 167
Sungguh berat amanah yang disandang beban sekujur
tubuh. Kepala menjunjung bahu memikul tanganpun
menjinjing. Untuk itu harus berpacu dalam hidup. Semua
potensi dikerahkan, otak diperas tenaga dikuras demi tugas.
Sebagai lokomotif yang menghela gerbong panjang, harus
sampai di stasiun dengan cepat dan tepat, jangan sampai
mengecewakan para penumpang. Begitulah ilustrasi dari
seorang laki-laki Minangkabau.
B. MINANG MERANTAU
Secara estimologi “merantau” bukan termasuk bidang
kebudayaan, tapi bagi anak Minang merantau itu sudah
membudaya. Tidak pandang status sosial tingkat pendidikan
atau gender semua ingin merantau. Bahkan dibeberapa daerah
sudah menjadi keharusan. Ada semacam rasa minder
kompleks kalau tak pernah meniggalkan kampung halaman.
Padahal kadang-kadang kehidupan di rantau tidak lebih baik
dibanding di kampung sendiri. Kalau diamati, saat ini tidaklah
tepat kalau anak-anak Minang di luar Sumbar disebut
perantau, sebab umumnya sudah bermukim bukan pendatang
musiman. Mereka membaur dengan masyarakat dimana dia
tinggal, sehingga tak terbedakan lagi antara “anak-padang”
dengan penduduk asli. Tatakramanya, gaya hidup dan dialek
bicaranya sudah menyatu. Bagi mereka tanah rantau adalah
tanah air kedua.
Kalau dipertanyakan fenomena apa ini? Mengapa mereka
tidak nyaman tinggal di tanah leluhur sendiri? Untuk
menjawab pertanyaan ini ada beberapa pengamat
berpendapat berdasarkan sudut pandang masing-masing.
Menurut para Sosiolog bahwa hasrat merantau pada awalnya
karena ingin melepaskan diri dari kungkungan adat. Sistem
138
Yus Dt. Parpatih