Page 168 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 168
Harta Pusaka Tinggi telah mengkebiri hak-hak kaum lelakinya.
Berkuasa tapi tak bermilik. Hidup berhimpitan di Rumah
Gadang layaknya tinggal di asrama. Mau membagun rumah
sendiri aturan adat tidak membenarkan jual-beli tanah Pusaka.
Faktor-faktor itulah yang mendorong mereka ingin hidup
bebas di rantau.
Analisa berbeda dari pihak Ekonom, motifnya adalah
faktor Ekonomi. Umumnya lahan pertanian di Sumbar tidak
memadai. Biar luas apalagi statusnya. Padahal sejalan dengan
dinamika zaman, kebutuhan semakin banyak dan beragam.
Usaha alternatif diluar tani terlalu sempit, ibaratnya bermain
bola di tengah sawah. Karenanya terpaksa kampung
ditinggalkan. Nekad merantau menantang resiko, di situlah
perang mengadu nasib. Kalau mau balik kandang? No wey,
pantang bagi anak Minang! Ini pantunnya :
Pado den lalu ka jam gadang
Elok ka janjang ampek puluah
Pado basansaik den bao pulang
Eloklah rantau den pajauh
Pandangan dari psikolog lain lagi, secara genetik orang
Minang berdarah petualang. Konon diwaktu prasejarah dulu
terjadi perpindahan penduduk besar-besaran dari Hindia
Belakang ke wilayah Nusantara. Mereka secara bergelombang
menuju Laut Cina Selatan, masuk selat Malaka lalu mudik ke
Batang Kampar. Sampai di hulu sungai mereka mendarat di
Muara Maek. Di sana bermukim membangun kampung dan
beranak-pinak. Selanjutnya dari Payakumbuh Utara menyebar
ke seantero tanah Minang, merekalah nenek moyang orang
Minangkabau. Nah, darah petualang itulah yang mengalir di
tubuh anak Minang sampai kini.
Menyingkap Wajah 139
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya