Page 169 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 169
Kemudian ada pendapat Bundo yang ditawarkan sebagai
pembanding analisa 3 pakar di atas. Bahwa, katanya semua
pendapat tadi ada benarnya tapi tidak seluruhnya benar.
Kenyataannya masyarakat perantau sangat mencintai
Minangkabau dan Adatnya. Tidak pernah ada upaya untuk
merombak tatanan yang menyebabkan mereka “terusir”.
Bahkan keterikatan emosional antara kampung dan rantau tak
pernah pudar baik secara finansial maupun moralitasnya.
Masalah ekonomi di manapun hamparan bumi ini selalu
menjanjikan, tergantung manusianya. Kalaupun dikatakannya
hidup di kampung susah, mereka merantau bukan
berhamburan melarikan diri, tapi mencari air buat menyiram
Minangkabau yang terbakar. Darah petualang mungkin juga!
Tapi merantau sebagai genetik hanya turun kepada anak
Minang? Toh kalau benar, keturunannya tersebar di Nusantara!
Selanjutnya Bundo berasumsi, bahwa: Yang menjadi
motivasi anak Minang meninggalkan kampung halaman
adalah “upaya menaikkan taraf hidup lahiriyah dan batiniyah
ke tingkat yang lebih tinggi”. Berkaitan dengan hal ini, seorang
ibu (bundo) berbincang dengan putranya bernama Uyung.
Begini kutipan dialognya:
BUNDO : Sewaktu kau di ayunan dulu, Bundo
mengantarmu bobok dengan alunan nada menghiba. Begini
bunyi pantunnya :
Karantau madang di hulu
bubuah babungo balun
barantau bujang dahulu di
rumah paguno balun
UYUNG : Apa semua Ibu di tanah Minang ini
mendendangkan maknanya dengan pantun itu?
BUNDO : Ya…. Itu pesan dan amanah kami.
140
Yus Dt. Parpatih