Page 181 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 181
ada pameo: “Kesurga ikut, keneraka nurut”. Mutlak taat pantang
menolak.
Walaupun telah keluar hukum tentang memuliakan
martabat wanita, Islam tidak serta merta mengadakan
perubahan, bertahap dan berangsur. Pada awalnya boleh
mengikuti aturan lama, seumpama: Bebas mengawini budak
perempuan atau melaksanakan kawin kontrak (muth ‘ah).
Dipakai untuk satu malam, besok pagi boleh dicerai. Baru
kemudian di saat yang tepat keluar larangan.
Sampai ke abad pertengahan prilaku zalim tetap berlanjut.
Perempuan dijadikan barang komoditi, dilelang secara bebas.
Orang Negro diimpor dari Afrika untuk buruh pertanian kapas
di Kanada. Perempuannya diobral untuk pekerjaan kasar, yang
berwajah lumayan untuk ransum pekerja lokal. Zaman beredar
musim berputar. Kaum wanita menemukan jalannya untuk
merubah nasib. Dengan pergerakan emansipasi segalanya
berubah. Mereka menuntut persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan: Berhasil! Kalau dulu perempuan tidak boleh
mengenyam pendidikan, tidak boleh bersuara dibidang
pemerintahan, sekarang bebas. Ibarat tenaga per yang sekian
lama tertekan, sekarang melenting tanpa kendali. Semua
rambu-rambu ditabrak, malah ingin memiliki kebebasan tak
terbatas. Semua hak didapatkan mereka termasuk “hak talak”
dan penguasaan di rumah tangga. Terjadi perceraian harta
dibagi dua: Gonogini. Si suami minta “hak batinnya” dengan
desakan dianggap “perkosaan” dan itu kriminal. Barangkali
dalam tuntutan persamaan hak dan kewajiban, hanya
kewajiban hamil dan melahirkan saja yang tak bisa
dilimpahkan mereka kepada laki-laki. Dunia peradaban kalang
kabut ulah perangai perempuan di zaman global sekarang.
152
Yus Dt. Parpatih