Page 268 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 268

selama perang semua kegiatan belajar mengajar di Sumatera

                  Barat mati total.

                        Mereka  semua  galau  tak  tahu  entah  mau  kemana.
                  Segelintir  ada  juga  yang  melanjutkan  sekolah,  yang  lain

                  mengambil  langkah  bekerja  di  sawah.  Tapi  pada  umumnya
                  mereka merasa gelisah dan trauma tinggal di kampung, lantas

                  ke  rantau  menghadapi  perang  gerilya  di  kaki  lima  dengan

                  segala deritanya. Kalau dulu makan nasi bungkus suplay dari
                  orang  kampung,  kini  mengais sendiri  untuk  bertahan  hidup

                  dari  hari  ke  hari.  Begitulah  nasib  anak  terbuang:  dalam
                  pangkuan ibu tiri. Habis manis sepah terinjak akibat “galodo

                  politik”  di  ranak  minang,  tanaman  muda  yang  sedang

                  berbunga di hantam lumpur berbatu. Akibatnya Minangkabau
                  mengalami gagal panen di tahun malapetaka itu. Satu generasi

                  terabaikan. Itulah dia Generasi Hampa.

                        Di  saat  seruan  politik  dari  Pusat  yang  penuh  harapan,
                  mereka  membayangkan  akan  menjadi  prajurit  beneran

                  melalui  Sekolah  Pendidikan  Militer.  Tapi  pintu  itu  tertutup

                  rapat  bagi  “anak  pemberontak”;  konon  pula  untuk  menjadi
                  Pegawai  Negeri  ini.  Tak  ada  pihak  yang  memperhatikan,

                  mereka  kecewa  berat  dengan  para  Komandan  dan  petinggi

                  PRRI  yang  sekarang  hidup  senang  dengan  fasilitas  dari
                  Pemerintah.  Bapak-bapak  itu  jadi  pengusaha  dan  duduk  di

                  tempat-tempat basah. Mana janji Bapak yang dulu?

                        Tidak saja sampai disitu, para pemuda Minang di tanah
                  rantau  kena  imbas.  Stempel  “anak  pemberontak”  seakan-

                  +akan aib yang menimbulkan effek domino dikalangan anak
                  Minang.  Mereka  merasakan  ada  semacam  klasifikasi  dalam

                  pergaulan Nasional. Takut ketahuan kalau awak anak Padang.

                  Sehingga bicara dengan bahasa daerah pun berbisik-bisik atau
                  dipaksakan berbahasa Indonesia di tempat ramai. Malah ada








                                                         Menyingkap Wajah                      239
                                                         Minangkabau

                                                                      Paparan Adat dan
                                                                      Budaya
   263   264   265   266   267   268   269   270   271   272   273