Page 301 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 301
Keadaan sunyi mencekam. Entah dari mana datangnya,
terdengar suara menggelegar, Hai..Berhenti!! Cindua Mato
segera turun dari punggung kuda. Dia pasang ancang-ancang
sambil memandang tajam berkeliling. Tiba-tiba meloncat
seseorang dari dahan penginaian. Berbadan kurus kepala
botak. Dengan angkuhnya mendekati Cindua Mato, sambil
mengakak ketawa setan. Orang itu membentak, “Kamu tahu,
ini daerah Bukit Tambun Tulang? Yang ditantang diam saja.
“Serahkan barang-barangmu. Cepat” Katanya merapat terus
ingin merogoh kantong. Secepat kilat tangan yang terjulur, di
sambar dipelintir lalu dibanting ke tanah. Dia meraung
panjang kesakitan.... Datang yang lain dan samping, Ooo, kamu
hebatya? Tak disangka kaki Cindua Mato melayang kearah
dada. Terjengkang ke sudut batu. Mata terbeliak tak bergerak
lagi. Muncul serempak bertiga bersenjata parang dan tombak.
Sekali gebrak semua ke bagian lalu jatuh tersungkur. Datang
lagi yang berbadan besar mendongkak dari muka. Sambil
merebahkan diri, kaki musuh yang menginjak tanah digunting
oleh kedua kaki Cindua Mato, Buummm rubuh terjelapak.
Kepala yang sedikit mendongak itu ditendang pinalti
sambil mengangkangi perut buncit. Darah mengucur
berserakan di rumput basah. Saat itulah Gumarang meningkik
rupanya memberi isyarat kalau beri belakang datang bahaya.
Benar saja. Jarak 3 langkah berdiri seorang berbadan tegap
berotot gempal, kumis melintang bakijuk sebal lambang.
Tahu kalau lawannya bukan orang sembarangan, dengan
hati-hati dia membuka langkah. Tangannya merentag mintak
lawan. Tegaknya menyamping sedikit membungkuk O, ini dia
induk angkangnya, untuk itu Cindua Mato waspada. “Salah
langkah kita bisa bulus” katanya dalam hati. Maka bermainlah
mereka berdua dengan jurus masing-masing saling mengintai,
272
Yus Dt. Parpatih