Page 302 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 302
mengunci, menghindar dan membanting. Awalnya Cindua
Mato agak kewalahan melayani tinju halilintar si komandan,
rusuk pendekar Istana ini diterjang tumik bak anak batu lada.
Lama juga mereka berkuampas. Menghadapai kaki Cindua
Mato yang enteng lincah, tangan cepat gerakan tipu
membingungkan, akhirnya si raja rampok ini kehabisan nafas.
Cindua Mato di atas angin. Kaki, tangan, sikut dan lutut panen
disekujur tubuh lawan...
Melihat guru terdesak anak buahnya berhamburan
menyerang. Cindua Mato terkepung. Saat itulah pasukan
bersayap dari perut Sibinuang buncah menyerang. Mereka
kalang kabut melarikan diri. Ada yang masuk hidung,
selangkangan, ada yang menyengat mata berlarian tak tahu
arah. Tentara lebah bak hujan lebat memburu kemana mereka
lari. Saat itulah Cindua Mato merambah dengan rudus yang
tersimpan di bawah pelana Sibinuang. Semua punah tak
bersisa. Pertandingan usai. Pahlawan Pagaruyung itu
terkampai kepayahan sesudah perang habis-habisan.
Mayat bergelimpangan, darah menganak sungai
membasahi bumi menambah tumpukan kerangka manusia tak
berdosa korban kebiadaban Tambun Tulang. Sebenarnya
seorang kesatria tidak boleh membunuh lawan tak berdaya. Itu
pantang pendekar sejati. Tapi karena mereka adalah manusia-
manusia terkutuk, Cindua Mato lakukan itu demi
menyelamatkan nyawa orang banyak diperlintasan.
Ada seorang yang tertengkak-tengkak masuk hutan. Dia
dibiarkan hidup untuk memberitahu orang kampung bahwa
pendekar Cindua Mato dari Pagaruyuang yang telah
memusnahkan komplotan penyamun di Bukit Tambun Tulang.
Sejak itu daerah penyamunan aman dari penjahat.
Menyingkap Wajah 273
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya