Page 310 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 310
Bukan main murka Raja Tiang Bungkuk mendengar
putranya dipermalukan. Sudah patah hati sekarang tangannya
dipatah juga. “Saya hancur luluhkan Pagaruyuang” katanya
geram. Dia ingin balas dendam dan akan menuntut dengan
caranya sendiri. Tapi dia datang bukan untuk mengajak perang
itu terlalu beresiko. Adalah sia-sia berhadapan dengan
kerajaan sebesar Pagaruyuang Caranya???. Tanggu hari
mainnya!.
Pada hari yang telah dirancang Raja ini bersama putranya
Imbang Jayo dikawal oleh beberapa orang pendekar tangguh
sampai diperbatasan. Disini mereka menginap. Besoknya
menjelang tengah hari harus sampai dikawasan dekat istana.
Memang disengaja sebab waktu itulah waktu yang baik untuk
bertindak. Saatnya tiba menjelang zuhur, mereka bersembunyi
disatu bukit kecil. Dari sana jelas istana Pagaruyuang yang
menjadi target. Semua alat perangnya dikeluarkan. Bidikannya
harus tepat ke arah Matahari. Tinggal menunggu isyarat dari
sang Komandan.
Sejak beberapa malam terakhir ini, Cindua Mato sering
digoda mimpi buruk. Malam jumat kemarin dia mimpi lagi.
Rasanya pohon beringin dihalaman istana rubuh sendiri.
Padahal angin tidak hujan badaipun bukan. Pertanda apa ini ?
Apakah gerangan takwil mimpi aneh tersebut? “Ah, itu
hanya godaan setan saja, takkan terjadi apa-apa” katanya
membujuk diri sendiri. Kemarin Gumarang berubah. Hari ini
juga begitu berperangai seperti itu. Beberapa kali dia
meringkik dalam kandang sambil menyepak dinding. Untuk
menenangkannya Gumarang di-bawa ketanah lapang. Disitu
makin mengamuk. Kedua kaki belakangnnya menendang kian
kemari kaki muka diangkat sambil meringkik panjang.
“Jangan-jangan ini isyarat bahaya seperti dibukit Tambun
Menyingkap Wajah 281
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya