Page 313 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 313
akibat terror ayahnya sendiri berupa cercaan dan makian. “Kau
bukan sebagai anak Tiang Bungkuak” kata Raja pada suatu hari
kepada anaknya, laki-laki tak punya nyali bermental kerupuk.
Sifat yang tak pantas dimiliki seorang calon Raja. Raja itu harus
luar biasa, diatas dari segala tuah dan martabat manusia.
“Bukan kacung seperti kama” katanya membentak.. Umpatan-
umpatan seperti itulah yang membuat mentalnya hangus bak
dihantam sinar CAMIN TARUIH”. Sepertinya Pangeran itu
mengalami despresi alias senewen. Kasihan sekali.
Menjadi seorang tawanan membuat kehidupan manusia
rendah tak berguna. Demikianlah kehidupan Cindua Mato kini.
Terhina di dalam kandang layaknya seekor hewan. Makanan
disodorkan sambil memberi rumput kuda disebelah. Tapi
semua itu tidak membuat hatinya ciut. Walaupun kaki dirantai
jiwanya lepas tak terpasung. Malah derita ini memberi banyak
peluang untuk merenung. Dalam kesendiriannya, semua apa
yang pernah dipelajarinya diasah tajam untuk perisai diri.
Wajah gurunya senantiasa dihadirkan dalam tirakatnya “Sabar,
hari masih panjang” katanya membekali diri dengan semangat.
Hanya itu yang ia punya buat menyeberangi ruang kelam tak
berpintu.
Mengingat nama Cindua Mato hati Raja selalu bergetar.
Gara-gara dialah hidup terbuang. Sesekali terbesik
difikirannya untuk membunuh saja anak muda itu. Tapi tidak.
Bagaimana pun dia menghargai kepahlawanan Cindua Mato,
berani dan tangguh. Alangkah bahagianya kalau punya anak
seperti dia. Namun, bagaimanapun Cindua Mato harus
disingkirkan. Dilepas tak mungkin dipelihara berbahaya.
Dibunuh?. Jangan!! membunuh orang tak berdaya artinya
pengecut. Itu tak boleh dilakukan oleh seorang kesatria seperti
284
Yus Dt. Parpatih