Page 321 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 321
kejam dari ibu tiri. Bertempur di Jakarta harus dengan senjata
uang keterampilan atau bagak Tiga-tiganya saya tak punya,
sedangkan hidup harus makan. “Nak karajo sikola tangguang,
manggaleh bapokok indak, kamancacak hati badampuang, ka
mangemis malu nan labiah, menjadi buruh bangunan?.
Sorry!!!, itu bukan pilihan anak minang,”
Untunglah saya punya senjata keempat, yaitu: semangat
dan tekad. Dengan itulah saya berkayuh selama 4 tahun
menelusuri sudut-sudut Betawi. Hanya bermodalkan sisa uang
manjojo ditanah Lampung, saya pun mulai berjualan lebih
maju 5 langkah dari Cina, yaitu di kaki lima Tanah Abang.
Karena keterbatasan modal, akhirnya biduk saya oleng,
kemudian karam. Dalam kegalauan itu, teringat pesan mandeh,
“Di rantau lantehkan angan-angan paralu bajalan luruih,
bakato bana.
Ruas Kedua
Selepas tahun 1970, dunia perkasetan sedang marak-
maraknya. Saya tergoda “main kaset” di jalur Sandiwara.
Lantas, tanpa dibekali ilmu teater, iseng-iseng menulis cerita
berbahasa Minang untuk kaset audio. Hanya dengan semangat
dan percaya diri, akhirnya pada tanggal 23 November 1979,
naskah cerita selesai, judulnya di Simpang Duo. Hari itu juga,
resmi saya dirikan “grup tanpa anggota” bernama “Balerong
Group Jakarta” Pimpinan Yus Datuak Parpatiah. Cari anggota
yang pas, calon pemain yang berjumlah 7 orang itu berlatih
antusias karena ingin “masuk kaset”, sebagaimana idaman
anak muda waktu itu. Dengan perbaikan terus-menerus dan
pergantian pemain, hasilnya lumayan. Sebenarnya grup
Balerong hanyalah grup bayangan dan semua pemain sifatnya
292
Yus Dt. Parpatih