Page 323 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 323

berjanji  menyalurkannya  ke  Globe  Record  di  Harco,  Jakarta

                  Kota. Besoknya, saya diajak menemui bos untuk berunding

                        Setelah  saya  diperkenalkan  sebagai  pimpinan  grup,  Pak
                  Haji menawarkan sandiwara Minang “Di Simpang Duo”. Bos ini

                  seorang  Cina  bernama  Cau  An,  pimpinan  Globe  Record.  Dia
                  dengar sebentar sampel kaset, kemudian menggeleng. “Mana

                  gua  tahu  Bahasa  Padang.  Nggak  maulah,”  katanya  acuh  tak

                  acuh.  Haji  Jon  meyakinkan  dengan  menyodorkan  sejumlah
                  uang. “Tolong rekam, ini saya beli cash untuk 1.000 kaset,” ujar

                  Pak Haji. Mendengar itu, Cau An mengangguk. “Kalau gitu oke,
                  gua anggap judi aja,” katanya tersenyum. Sebab dengan uang

                  sebanyak itu, dia pasti untung.

                        Waktu  itu,  Cau  An  mematok  harga  (bayaran  untuk
                  Balerong) Rp. 300 ribu. Saya minta Rp. 500 ribu. Dia menolak.

                  “Lu  orang  baru  ya?  Ini  bukan  dagang  duku,  tak  ada  tawar-

                  menawar”.  Dengan  Rp.  300  ribu  hanya  cukup  untuk  honor
                  pemain. Tapi saya setuju, daripada ndak jadi pitih sama sekali.

                  Kami pulang meninggalkan Cau An yang tersenyum-senyum

                  sumbringah.
                        Sebulan  kemudian  “Di  Simpang  Duo”  beredar.  Saya  tak

                  mikir kaset lagi. Tapi saya dapat berita kalau kaset Balerong

                  laku  keras.  Maklum,  baru  pertama  sekali  ada  sandiwara
                  Minang  di  kaset  dan  isinya  debat  mamak  kamanakan  yang

                  selama ini dianggap pantangan. Cau An untung besar. Hampir

                  segudang  kaset  bekasnya  direkam  ulang.  Permintaan  makin
                  banyak, barang sering kosong di Padang.

                        Tak berapa lama kemudian, Toke Cau An datang ke rumah

                  petak saya. Waktu itu hujan lebat, beliau pindah-pindah duduk
                  karena  rumah  bocor.  Dia  minta  cerita  baru  secepatnya.

                  Sekarang “Rajo Angek” yang bertangguh. “Nggaklah, lebih enak
                  di kaki lima.”








                       294
                                  Yus Dt. Parpatih
   318   319   320   321   322   323   324   325   326   327   328