Page 56 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 56
Sungguhpun demikian, rasanya kuranglah bijak kalau
buru-buru memvonis tambo itu sebuah dongeng sebelum
dipertimbangkan beberapa aspek. Kita ketahui bahwa
pewarisan budaya Minangkabau diturunkan lewat
“penuturan”.
Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan
Minangkabau yang tidak memiliki aksara. Ilmu Adat berupa
pepatah, petitih, gurindam, pantun dan semacamnya semua
diturunkan dari generasi ke generasi lewat penuturan, dan
harus diingat bahwa semua pusaka sastra tertuang dalam
kaidah Kato Bamisa, Rundiang Bakiyeh. Untuk mendapatkan
substansinya harus dengan penalaran berbingkai kearifan.
tanpa semua itu apa yang dibicarakan dalam masalah ke
Minangkabauan hanya merupakan setumpuk kebohongan
belaka. Kalau MD Mansoer mengatakan bahwa tambo
berisikan hanya 2% sejarah, barangkali bila diurai bisa
menjadi 100% dan apa yang menurut beliau 98% berisi
lumpur itu merupakan cairan logam mulia yang kalau dipadu
merupakan kepingan emas murni.
Kalau dipertanyakan binatang Dinosaurus yang pernah
hidup jutaan tahun yang silam, nama itu diberikan oleh para
ilmuwan masa kini. Lantas, apa bedanya kalau orang Minang
menamakan anak Zulkarnain dengan Sultan Maharajo Dirajo?
Kalau mau jujur, hewan purba seperti Dinosaurus dan Mamout
bisa dipastikan keberadaannya lengkap dengan postur tubuh
yang sempurna, dari mana orang tahu semua itu? Pada hal
cerita apa lagi gambarnya tidak pernah ada sebelumnya. Orang
membuat keterangan itu bukan asal bicara. Jangan cepat
berkesimpulan yang mengatakan sebagian isi tambo sebagai
lumpur. Para ahli Antropologi dan Biologi meyakinkan dirinya
Menyingkap Wajah 27
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya