Page 27 - SD_Bohong Merinang
P. 27

itu  dirundung  duka  sepekat  langit  malam  di  depan
            gubuk. Itulah perasaan Simpersah. Bagai dilanda badai

            prahara,  begitulah  hati  sang  ibu.  Air  mata  sang  ibu

            menitik di atas beberapa lembar pakaian Simpersah yang

            hendak dibawa Simpersah esok hari. Setelah tujuh tahun
            usia Simpersah, belum pernah ibu Simpersah merasakan

            hal seperti itu. Perasaan itu bahkan lebih menyakitkan

            dibandingkan  ketika  suaminya  meninggal.  Perasaan

            yang  tidak  aneh,  tetapi  sangat  tidak  menyenangkan.
            Ibu Simpersah menahan kesakitan hingga  menyesakkan

            dadanya.

                Setelah  beberapa  saat  ia  bergumul  dengan

            kesedihannya,  sang  ibu  pun  kembali  ke  logikanya.  Ia
            harus  kuat  melepaskan  putranya  satu-satunya  untuk

            berangkat ke kota, itulah jalan yang terbaik untuk masa

            depan anaknya kelak. Simpersah harus bersekolah tinggi,

            jangan  seperti  orang  tuanya  yang  tidak  mengenyam
            pendidikan  sehingga  hanya  bisa hidup sebagai  buruh

            tani di kampungnya, hidup susah, dan tidak punya apa-

            apa.








                                                                       17
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32