Page 19 - Konflik Bersejarah Runtuhnya Hindia Belanda (Nino Oktorino) Septa
P. 19
11
Pada tanggal 17 Juli 1936, Fraksi Nasional di Volksraad RAPUH
mengajukan sebuah petisi yang cukup ”monumental”.
Pe tisi yang dikenal dengan nama Petisi Soetardjo, ka- ANG
rena disampaikan Mr. Soetardjo Kartohadikusumo, ini
mengusulkan agar diadakan suatu konferensi antara se-
mua bagian dari Kerajaan Belanda—yang meliputi Negeri K OLONI Y
Belanda, Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao—un-
tuk membuat rencana perubahan secara bertahap an-
tara wilayah-wilayah jajahan dengan negeri induk serta
memberikan hak otonomi seluas-luasnya kepada Indo ne-
sia. Jadi, yang dituntut Soetardjo adalah pem bentukan
pemerintahan sendiri bagi rakyat Indonesia dalam ling-
kungan persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda.
Usul itu sendiri pada dasarnya mengambil contoh pada
ke bijakan yang dilakukan di Filipina oleh Amerika Seri-
kat pada tahun 1933, yang kemudian menyebabkan ter-
bentuknya peme rintah Persemakmuran Filipina pada bu-
lan November 1935. Diharapkan status yang sama akan
diperoleh bangsa Indonesia dalam waktu 10 tahun.
Kalangan pers Indonesia, seperti surat kabar Peman-
dangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli,
dan Soeara Katholik menyokong usul petisi. Me nurut
Pemandangan, diajukannya Petisi Soetardjo adalah sangat
te pat karena akan adanya penggantian Gubernur Jenderal
de Jonge oleh Jkhr. Mr. A.W.L.Tjarda van Starkenborg
Stachower yang berpaham liberal. Dengan dibicarakannya
petisi itu oleh pers, maka usul petisi itu pun cepat tersebar
luas di kalangan rakyat.
Akhirnya, tanpa melalui pemungutan suara, petisi itu
langsung diterima untuk dibahas dalam forum Volksraad,
yaitu dalam sidang khusus yang di se lenggarakan pada
tanggal 17 September 1936. Dalam sidang tersebut,
mun cul sejumlah pendapat pro dan kontra terhadap isi
Petisi Soetardjo. Se mentara para wakil Kristen, Arab,
001/I/15 MC