Page 44 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 44
“Ah! Jangan bercanda seperti itu, pecun!” kata saya sambil
mendorong keningnya dengan tangan saya.
“Teman itu gak makan teman, To,” jawabnya sambil
tertawa dan kembali merangkul pundak saya dengan erat.
“Saya gak napsu lihat kamu, kok,” kata-katanya saya
balas dengan pekik tawa yang membahana.
Sore itu langit tampak begitu damai, dihiasi warna-warni
jingga, merah, abu-abu dan arakan awan. Dari atas bukit
di dekat kontrakan ini, saya bisa melihat seisi lorong
tempat saya tinggal, rumah beton dan papan saling
tumpang tindih, berjejalan. Ironisnya, di luar dari lorong itu,
ada sederetan bangunan pencakar langit, pusat
perbelanjaan serta perkantoran.
Tiba-tiba saya teringat akan masalah hutang saya, lalu istri
dan anak saya. Tinggal berapa lama lagi waktu saya?
Tidak, pertanyaan yang lebih tepat, mungkin adalah, apa
yang akan terjadi dengan keluarga saya? Sekarang
nyawa mereka ikut terancam.
*
“Saya pulang!” kata saya ketika masuk ke pintu kamar
kontrakan yang menganga lebar.
Putra saya yang masih kecil, si Buyung, tampak sedang
asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Usianya baru
menginjak empat tahun, masih belum bisa berbicara.
42