Page 47 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 47
Tidak seperti biasanya, kata saya dalam hati. Leni
berhenti menjadi perempuan yang lembut semenjak hidup
kami kian susah dan dibelit hutang ini. Biasanya dia hanya
mengumpat, mengutuk kemiskinan kami, atau mengejek
pekerjaan kasar serta serabutan yang saya lakukan di
luar. Sekali ini, dia berubah.
Saya memutuskan untuk tidak memberitahu tentang
pesan ancaman dari rentenir tadi. Saya makan dengan
lahap, nasi putih dan lauk kangkung tumis buatan istriku.
Nikmat tiada tara! Meski kini Leni tidak cantik dan putih
mulus seperti dulu ketika pertama mengenalnya.
Sekarang rambutnya yang panjang hanya sering diikat ke
belakang, sehari-hari di rumah mengenakan daster, atau
ketika pergi bekerja membersihkan apartemen di sebelah
kompleks kumuh ini, dia mengenakan seragam khusus
berwarna biru dan abu-abu.
Ah! Seharusnya saya bersyukur, karena dia masih ada di
sisiku, mau hidup susah seperti ini.
“Si Buyung kamu titipkan lagi di Inem yang sebelah kamar
kita?” tanya saya.
Leni balas dengan mengangguk.
“Cuma dia yang mau dititipkan si Buyung, mas. Sudah
dianggapnya seperti anaknya sendiri,” jawab Leni.
“Sepeninggal suaminya, jelas dia senang dititipkan anak
kecil, Len,” kata saya. “Asal dia gak aneh-aneh dengan si
Buyung.”
45