Page 170 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 170

Telaga  bisa  menjadi  perempuan  Brahmana  sesungguhnya.  Untuk  itu,  ibunya

                        menginginkan  Telaga  menikah  dengan  lelaki  dari  kalangan  Brahmana.  Namun,
                        penilaian Telaga sangat berbeda tentang masyarakat Sudra, karena dirinya menilai

                        lelaki  bukan  dari  kebangsawanannya  namun  dari  kepribadiannya.  Misalnya

                        penilaian Telaga terhadap Wayan yang sejak kecil dikenal sebagai anak lelaki yang
                        sopan,  santun,  dan  berbakat  dalam  melukis.  Pernikahannya  dengan  Wayan

                        membuat  Telaga  rela  menanggalkan  atribut  kebangsawanannya,  bahkan  rela
                        dibuang  oleh  kelurganya  dari  griya  dengan  upacara  patiwangi.  Setelah  menjadi

                        masyarakat  Sudra,  Telaga  mulai  menemukan  arti  hidup  dan  cinta  yang

                        sesungguhnya.  Namun  takdir  memisahlan  Telaga  dengan  Wayan  yang  mati
                        mendadak di tahun ke-5 perkawinan mereka.

                             Novel Tarian Bumi karangan Oka Rusmini, banyak memunculkan persoalan
                        ketidakadilan  gender  dan  budaya  patriarkhi  dalam  wilayah  hukum  adat  Bali.

                        Pengkastaan yang masih berlangsung hingga kini, mulai memunculkan polemik
                        dalam persoalan perempuan Bali yang berkasta Brahmana. Mreka dilarang menikah

                        dengan  lelaki  Sudra.  Jika  ada  yang  berani  melakukan  pelanggaran  itu,  maka

                        perbuatannya  dianggap  sebagai  aib  bagi  dirinya  dan  keluarganya.  Mereka  juga
                        dicap  negatif  oleh  masyarakat.  Malapetaka  bisa  menimpa  tidak  saja  pada

                        pelakunya,  namun  juga  pada  keluarga  besar  dan  masyarakat  di  sekitarnya.
                        Persoalan-persoalan  yang  dimunculkan  Oka  dalam  novel  ini,  Oka  dapat  dinilai

                        sebagai pengarang aliran feminisme radikal.

                             Kritik  feminis  ideologis  mengungkap  pelabelan  gender  pada  kaum
                        perempuan dalam novel ini. Misalnya kaum laki-laki dalam setiap upacara adat

                        yang menampilkan tarian dengan penari perempuan, mereka kerapkali melontarkan
                        kalimat kekagumannya pada penari yang sesungguhnya kata-kata tersebut adalah

                        bentuk dari subordinasi gender (Fakih, 2013) yang merendahkan harga diri penari

                        perempuan.
                             Dalam novel ini dimunculkan tokoh lesbian yang bernama Ni Luh Kenten.

                        Luh  Kenten  mencintai  Ni  Luh  Sekar  (Jero  Kenanga).  Mereka  sebagai  teman
                        bermain  sejak  kecil,  kemudian  setelah  dewasa  saling  menyatakan  perasaannya.







                                                                                                    164
   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174   175