Page 34 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 34
mengungkap pengalaman, perasaan serta pikiran yang selama ini diredam
(Djajanegara, 2003). Tak lupa pula dengan menerapkan kajian feminisme
transformasi gender dalam transformasi sosial. Kajian ini mengkritisi jua tentang
persoalan gender dalam situasi transformasi sosial, dan menggunakan teori yang
bersumber dari Fakih (2013). Menurut Fakih, transformasi gender adalah gerakan
pembebasan perempuan dan laki-laki dari sistem yang tidak adil. Gerakan
feminisme bukanlah gerakan semata-mata untuk menyerang laki-laki, tetapi
merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil serta citra patriarkal
bahwa perempuan itu pasif, tergantung dan inferior. Selain itu, kajian sastra feminis
juga menggunakan alat analisis gender yang bersumber dari teori Fakih (2013)
dengan berbagai manifestasi ketidakadilan gender di antaranya yaitu, gender dan
marginalisasi perempuan, gender dan subordinasi, gender dan stereotipe, gender
dan kekerasan, gender dan beban kerja.
Pada karya-karya novel masa lalu yang terutama pada masa awal kesusastraan
Indonesia modern, para pengarang menceritakan tokoh perempuan dalam posisi
tokoh utama atau kedua yang dicitrakan dalam kondisi lemah, pasrah, patuh, atau
menderita. Sementara, dalam karya-karya novel Angkatan 2000, para pengarang
menceritakan tokoh perempuan dengan citra yang tangguh, cerdas, kritis, mandiri,
dan bearani melawan keidakadilan atas penindasan kaum perempuan maupun laki-
laki.
Gerakan feminisme yang pertama kali muncul di Amerika Serikat di akhir
abad ke-18, dilatari oleh aspek politik, agama, budaya, dan permasalahan sosial.
Latara utama pemicunya adalah sebuah teks yang terdapat dalam deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat (1776) yang bunyi, ‘all men are created equal’
(‘semua laki-laki diciptakan setara’). Sepenggal teks ini sangat mengganggu
perasaan kaum perempuan Amerika. Pasalnya dalam seluruh teks deklarasi tersebut
tidak menyinggung sedikitpun kalimat atau kata-kata tentang perempuan. Kala itu,
kaum perempuan Amerika merasa seolah sebagai jenis kelamin yang tak berharga
bagi negara, dan tidak mendapatkan perhatian sebagai warga negara yang memiliki
hak setara dengan kaum laki-laki (Djajanegara, 2003).
28