Page 193 - A Man Called Ove
P. 193
A Man Called Ove
tidak tahu mantel mana yang harus dibawanya pada detik
terakhir. Atau sesuatu yang lain.
Dia selalu melupakan termos kopi di rak pengering, yang
sesungguhnya adalah satu-satunya hal penting. Ada empat
mantel di dalam tas-tas sialan itu, tapi tidak ada kopi. Seakan
seseorang bisa berhenti begitu saja di pompa bensin setiap jam,
dan membeli kopi gosong rasa kencing-rubah yang mereka
jual di sana. Dan menjadi semakin terlambat.
Lalu ketika Ove menggerutu, istrinya selalu menentang
pentingnya perencanaaan waktu ketika sedang menyetir ke
suatu tempat. “Lagi pula, kita tidak sedang terburu-buru,”
katanya. Seakan itu ada hubungannya.
Kini ketika berdiri di peron stasiun, Ove menekankan
tangan ke dalam saku. Dia tidak mengenakan jas setelannya.
Pakaian itu telalu kotor dan sangat berbau asap knalpot
sehingga dia merasa istrinya mungkin akan mengomelinya,
seandainya dia muncul dengan mengenakan pakaian
itu. Istrinya tidak menyukai kemeja dan rompi yang kini
dikenakannya, tapi setidaknya, pakaian itu bersih dan dalam
kondisi layak.
Suhu hampir lima belas derajat di bawah nol. Ove belum
mengganti jaket biru musim gugurnya dengan mantel biru
musim dingin. Belakangan ini perhatiannya sedikit teralihkan,
itu harus diakuinya. Dia belum benar-benar memikirkan
bagaimana seharusnya penampilan seseorang ketika tiba
di alam baka. Mulanya dia menganggap seseorang harus
sangat rapi dan resmi. Kemungkinan besar akan ada semacam
seragam di atas sana, untuk menghindari kebingungan.
Menurut Ove, akan ada segala jenis orang di sana—orang
188