Page 198 - A Man Called Ove
P. 198

Fredrik Backman

              pikirnya. Ada cara yang benar untuk melakukan segalanya.
              Dan ada cara yang keliru.

                  Jadi, kereta api itu mungkin berjarak sekitar lima belas
              menit jauhnya, ketika Ove menyumpah jengkel. Dan dengan
              ketenangan yang sama seakan dia sedang bangkit berdiri
              untuk mengambil secangkir kopi, Ove melangkah minggir
              dan kembali melompat ke atas peron.
                  Kereta api sudah sejajar dengan Ove ketika masinis
              berhasil menghentikannya. Kengerian anak bawang itu
              telah menyedot semua darah dari wajahnya. Jelas dia sedang
              menahan keluarnya air mata. Ove dan masinis itu saling
              berpandangan lewat jendela lokomotif, seakan mereka baru
              saja muncul dari semacam padang gurun hari kiamat, dan kini
              menyadari mereka bukanlah manusia terakhir di bumi. Lelaki
              yang satu merasa lega dengan pemahaman ini, sedangkan
              lelaki yang satunya lagi merasa kecewa.

                  Bocah laki-laki di dalam lokomotif mengangguk dengan
              hati-hati. Ove membalas dengan anggukan pasrah.
                  Cukup adil jika Ove tidak ingin hidup lagi. Namun lelaki
              yang menghancurkan hidup orang lain dengan melakukan
              kontak mata, beberapa detik sebelum tubuhnya berubah
              menjadi pasta darah di kaca jendela depan orang lain tadi,
              itu bukanlah Ove. Ayahnya dan Sonja tidak akan pernah

              memaafkannya untuk itu.
                  “Kau baik-baik saja?” tanya salah seorang lelaki berhelm
              di belakang Ove.

                  “Semenit lagi, maka kau akan tewas!” teriak salah seorang
              lelaki lainnya.


                                        193
   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203