Page 195 - A Man Called Ove
P. 195
A Man Called Ove
Ove menengok arloji. Satu menit lagi. Dia berdiri di
pinggir peron. Menyeimbangkan sol sepatunya di pinggiran.
Dalamnya kurang dari satu setengah meter, pikir Ove
memperkirakan. Mungkin seratus enam puluh sentimeter.
Ada semacam simbolisme ketika dia membiarkan kereta
api mencabut nyawanya, dan ini tidak terlalu disukainya.
Menurutnya, masinis kereta api seharusnya tidak melihat
kengerian itu. Oleh karena itulah dia memutuskan untuk
melompat ketika kereta api sudah sangat dekat sehingga bagian
samping gerbong pertamalah yang akan melemparkannya ke
atas rel, alih-alih jendela besar di depan kereta api.
Ove memandang ke arah kedatangan kereta api dan
mulai menghitung perlahan-lahan. Yang penting pengaturan
waktunya harus benar-benar tepat, pikirnya memutuskan.
Matahari baru saja terbit, menyorot tajam ke dalam matanya
seperti anak kecil yang baru saja mendapat obor.
Dan saat itulah, Ove mendengar jeritan pertama.
Ove mendongak tepat pada waktunya untuk melihat lelaki
bersetelan dan bermantel panjang hitam itu mulai berayun ke
depan dan ke belakang, seperti panda yang kelebihan dosis
Valium. Ini berlanjut selama kira-kira satu detik, lalu lelaki
bersetelan itu mendongak, membuta, dan seluruh tubuhnya
terserang sejenis kedutan gugup. Lengannya bergetar hebat.
Lalu, seakan momen itu terdiri atas serangkaian panjang
gambar tak bergerak, surat kabar terlepas dari tangannya dan
dia pingsan, jatuh dari pinggir peron ke atas rel dengan bunyi
berdebuk, seakan dirinya adalah satu peti campuran semen.
190