Page 196 - A Man Called Ove
P. 196
Fredrik Backman
Perempuan-perempuan tua dengan logo dewan kota
di dada, yang sedang asyik merokok itu, mulai menjerit
panik. Para pemuda pemakai narkoba menatap rel sambil
membelitkan tangan pada tali-tali pengikat ransel seakan, jika
tidak, mereka merasa khawatir akan terjatuh. Ove berdiri di
pinggir peron di sisi lain dan memandang jengkel dari satu
orang ke orang lain.
“Demi Tuhan,” dengus Ove kepada dirinya sendiri,
pada akhirnya, sambil melompat turun ke atas rel. “BANTU
ANGKAT!” teriaknya kepada salah seorang penyandang
ransel di peron. Pemuda loyo itu beringsut perlahan-lahan
ke pinggir.
Ove mengangkat lelaki bersetelan dengan cara yang
cenderung bisa dilakukan oleh lelaki yang tidak pernah
menginjakkan kaki di pusat kebugaran namun telah meng-
habiskan sepanjang hidupnya dengan mengangkut dua alas
tiang beton di masing-masing lengan. Dia mengangkat tubuh
lelaki itu ke atas lengan penyandang ransel, dengan cara yang
tidak mampu dilakukan oleh kaum lelaki pengemudi Audi
yang bercelana olahraga warna neon terang.
“Dia tidak bisa tetap berada di jalur kereta api, kau
mengerti, kan?”
Para penyandang ransel itu mengangguk kebingungan,
dan akhirnya, lewat upaya bersama, mereka berhasil menyeret
tubuh bersetelan itu ke atas peron. Para perempuan dewan
kota masih menjerit, seakan benar-benar percaya bahwa itulah
pendekatan konstruktif untuk situasi itu. Lelaki bersetelan
tampaknya bernapas, tapi Ove tetap berada di atas rel di
191